PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Didunia yang modern ini banyak
beberapa dari kalangan masyarakat tidak memahami khabar yang terdapat dalam
alkitab baik alquran maupun injil inilah yang menjadikan Rudolf Bultmann
mempunyai sebuah metode yang disebut dengan demitologisasi. Demitologisasi
dapat berfungsi sebagai alat hermeneutis. Jika hermeneutis adalah masalah
bagaimana manusia berusaha melihat pesan Alkitab untuk saat sekarang, untuk
konteks tertentu, maka demitologisasi adalah suatu alat penafsiran yang dapat
digunakan untuk menemukan arti terdalam dari Alkitab bagi orang-orang modern
supaya mereka dapat memahami berita Alkitab dalam konteks mereka sendiri.
Dalam hal ini kami pemakalah
akanmenguraikan beberapa pendapat serta berbagai rumusan yang dipakai Rudolf Bultmann
yang mana sebagai ahli teolog pada zaman itu.
II.
RUMUSAN MASALAH
Adapun yang akankami paparkan serta
kami bahas dalam makalah ini adalah biografi Rudolf Bultmann, dan teorinya.
PEMBAHASAN
1.
Biografi Rudolf Bultmann (20 Agustus 1884 - 30 Juli 1976)
Masa Muda dan Pendidikan Teologi
Bultmann adalah seorang ahli Perjanjian Baru, ahli bahasa, seorang filsuf, dan
teolog besar pada abad ke-20.
Rudolf Karl Bultmann lahir pada 20
Agustus 1884 – 30 Juli 1976 di Wiefelstede, dekat Oldenburg, di Jerman.
Ayahnya, Arthur Bultmann, adalah seorang pendeta Lutheran Injil, kakek dari
pihak ayahnya seorang misionaris ke Afrika, dan kakek pihak ibunya seorang
pendeta[1].
Dengan demikian, Rudolf muda berasal dari garis keluarga berinvestasi di
lingkungan teologis pada masanya. Keluarga ini secara bertahap bergerak ke arah
liberalisme Protestan-terutama pada bagian dari ayahnya-akan terbukti memiliki
dampak signifikan pada muda ini teolog. Rudolf pendidikan humanistik dimulai di
Gymnasium di Oldenburg. Bultmann menerima gelar doktor pada tahun 1910 dari
Marburg dan dua tahun kemudian, memenuhi syarat sebagai instruktur di
almamaternya. Pada tahun 1916, ia menerima asisten profesor di Breslau, di mana
ia menikah dan mempunyai dua anak perempuan. Empat tahun kemudian ia pergi ke
Giessen untuk guru penuh pertama. Hanya satu tahun kemudian, ia kembali ke
Marburg di mana ia menerima guru penuh terakhir, menggantikan kursi Heitmuller
sebagai Perjanjian Baru Mulai tahun 1921, ia menjadi guru besar di Marburg
dengan spesialisasi bidang Perjanjian Baru dan sejarah Kristen kuno. Sekitar
tahun 1924-1925, ia bertemu dengan Paul Tillich dan Martin Heidegger yang
sedang menulis buku monumentalnya “Sein und Zeit”. Pertemuan dengan
Tillich dan Heidegger inilah yang kelak memberi pengaruh kuat terhadap alur pemikiran dan teologinya.
Pada
masa rudolf, hermeneutika disebut sebagai hermeneutika baru karena mempunyai
sebuah tujuan untuk menghindarkan diri dari kelemahan yang dimilki liberalisme.
Ada beberapa tulisan teolognya yang membuat masyarakat sampai sekarang masih
mengenyampingkannya sebagai tokoh gereja yaitu:
- § Theology of new testament ( 1951)
- § Die Geschite der Synoptischen Tradition (Sejarah Tradisi Injil Sinopsis, 1921)
- § Kerygma and Mytos (Kerygma dan mite, 1948)
- § Neues und Mythologie (Perjanjian Baru Dan Mitologi, 1941)
Itulah
beberapa karyanya Selama rezim Nazi,
Bultmann merupakan salah satu anggota yang vokal dalam "Confessing
Church"[2]
yang menolak untuk mengikuti kependetaan "Kristen Jerman"
dalam memberi dukungan kepada pengeluaran kebijakan non-Aryan Hitler. Sepanjang
kariernya, Bultmann terus berkhotbah dan mengajar, dia meninggal pada 30 Juli
1976 di Marburg (sekarang bagian barat) Jerman.
2.
Teori Rudofl
Karl Bultmann
Inti
dalam ajaran atau teori teolog rudolf adalah demitologisasi, sebelum kami
menjelaskan panjang lebar tentang teorinya ini kami akan menjelaskan latar
belakang tentang teori ini.
Di
awali dengan kehidupannya dalam sebuah gereja tradisional yang mengadopsi pengertian diambil dari filsafat
Yunani. Tindakan ini mengakibatkan wahyu Allah dipandang sebagai alam
tersendiri, terpisah dengan historisitas yang berjalan di dunia. Wilayah Tuhan
sangat eksklusif dengan kepercayaan bahwa wahyu Allah (Alkitab) tidak dapat
dikalahkan oleh hukum-hukum alam, misalnya seperangkat teori ilmiah dan ilmu
eksak, Pandangan ini dikenal dengan sebutan pandangan Supranaturalis atau
Supra-alami, yang menyebabkan terjadinya “dualisme kosmis”, yaitu adanya dua
alam yang saling berhadap-hadapan, dan yang satu merupakan subordinasi yang
lain (alam atas – alam bawah, alam rohani – alam jasmani, alam ilahi – alam
insani).
Namun
sekarang ini adalah zaman modern sangat sulit memahamkan (verstehen) dan
meyakinkan (glauben) akan isi dari alkitab, semakin lama pandangan
supranaturalis akan tergoyahkan dan memaksa menggunakan sebuah intrepretasi
historis dengan hal ini sejarahlah yang menjadi penentu kebenaran teolog. Hal
inilah yang mendorong Rudolf melakukan upaya untuk menjadikan Alkitab agar
dapat dimengerti secara utuh (verstehen). Bultmann berusaha menemukan kembali
ketuhanan Allah yang “hilang”. Allah itu Tuhan dan bukan manusia, hanya dari
dirinya sendiri manusia dapat mengenal Allah. Iman (glauben) ialah jawaban atas
firman Allah yang disabdakan pada manusia.
Ada
beberapa bahan dan materi yang digunakan Bultmann untuk menyusun teologinya berupa:
(1) Kritik
historis dari teologi liberal
(2) pengarahan kepada firman dan iman di dalam
teologi dialektis
(3) ajaran reformatoris tentang pembenaran
(4) filsafat eksistensi Martin Heidegger
Dalam metode Bultmann merupakan pengaplikasian
pikiran-pikiran eksistensial brillian Dasein (substansi dan temporalitas)
Heidegger. Semuanya dimasak dalam dapur “Being and Time” secara
konsekuen dan sistematis menjadi sesuatu yang baru dan memiliki cirinya
sendiri. Tujuannya adalah sebagai pemberi arah pada soal percaya (glauben) dan
mengerti (verstehen). Hal ini berarti bahwa Bultmann masih mendasarkan
teologinya pada teologi dialektis, meskipun di sisi lain ia juga mengembangkan
teologi liberal pada pemikiran historis kritis.
Setelah
kita mengetahui latar belakang yang mendorong teori rudolf akan kami jelaskan
apa itu demitologisasi. Demitologisasi secara singkat dapat dikatakan sebagai tafsiran
terhadap bagian-bagian Alkitab yang dianggap mitologis dengan menekankan
kebenaran-kebenaran eksistensial yang terkandung dalam mitos itu, kalau kita
lihat dari uraian diatas demitologisasi adalah gabungan dari glauben dan
verstehen. sedangkan ditinjau dari segi etimologinya de yang artinya
menghilangkan mitos adalah suatu perekayasaan yang bisa dipercaya atau tidak
danlogos adalah pengetahuan jadi, demitologisasi adalah menghilangkan mitos
dengan pengetahuan – pengetahuan ilmiyah agar dapat diterima masyarakat modern.
Demitologisasi adalah tafsiran terhadap bagian-bagian Alkitab yang
dianggap mitologis dengan menekankan kebenaran-kebenaran eksistensial yang
terkandung dalam mitos itu.
Menurut Bultman, manusia modern menemukan kesulitan untuk mengerti
pemberitaan perjanjian baru. Perjanjian baru mempunyai pandangan dunia yang
sama sekali berbeda dengan pandangan modern tentang dunia (manusia abad 19-20).
Manusia modern tidak dapat menerima lagi bahwa realitas ini dibagi atas 3
bagian, alam atas (sorga), alam tengah (bumi tempat manusia dan tempat
pertemuan kekuasaan ilahi dan demonis), alam bawah (neraka). Manusia modern
tidak percaya kepada roh-roh dan kuasa-kuasa yang penuh kekuatan lagi. Manusia
tidak percaya lagi akan mitos-mitos yang demikian.
Sebenarnya Bultmann tidak berusaha untuk menghilangkan ide-ide
mitologis dan motif-motif dari cerita-cerita perjanjian baru. Tetapi dia
bermaksud untuk menginterpretasikan ide-ide, motif-motif dan cerita-cerita
dalam alkitab sehingga semuanya menjadi transparan dan maksudnya menjadi jelas.
Tetapi demitologisasi menurut Bultmann ini perlu dan
tidak dapat dielakkan. Karena menurut Bultmann gambaran dunia dari perjanjian
baru adalah gambaran dunia yang mitologis karena peristiwa keselamatan
diceritakan secara mitos. Dan jika memaksa untuk menerima mitos itu sama halnya dengan memaksa
untuk mengorbankan rasio kita.
Bultmann mencela kaum liberalis seperti Harnack karena
menghapus mitologinya dan mengubah injil menjadi “beberapa asas agama dan
etika”. Bultmann menolak cara ini. Tujuannya adalah untuk menafsirkan mitologi
perjanjian baru dan khususnya menafsirkannya secara eksistensial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar